Rabu, 17 Desember 2014

Nasib fotografer dan karyanya.

Masih ingat David Slater? Dia fotografer alam dan binatang, atau dalam bahasa Inggrisnya: Nature Photographer. Salah satu "karya"nya, maaf, saya sengaja memberi tanda petik, sebab justru "karya" itu sendiri yang menjadi perdebatan panjang. Hingga kini David Slater tengah mencari "hak" atas "karya"nya.

Singkat ceritanya begitu: David Slater pergi ke Sulawesi untuk tugas pemotretan alam dan binatang disana 2011. Berbekal alat yang cukup canggih mulai dari kamera, tripot dan perjuangan tinggal dihutan, dia berusaha memotret sekelompok kera hitam hutan langka Sulawesi yang dikenal dengan nama: Macaca Nigra.

Dari ratusan foto yang dihasilkan, si kera hitam ternyata ikut juga memencet tombol kamera. Jadilah dia membuat foto diri sendiri alias SELFI. Foto-foto itu, juga karena keinginan David Slater, disiarkan ke seluruh penjuru dunia. Wikimedia sebagai induk usaha Wikipedia mengambil foto itu dan menyebarkan  berulang-ulang. Foto dan ceritanya menjadi VIRAL dimana-mana. Semua orang tersenyum membaca cerita si kera hitam ini. Jagoan banget nih monyet.

David Slater tidak terima kenyataan ini. Katanya, hidupnya sebagai fotografer penuh perjuangan. Semua dia pertaruhkan untuk tiba di Sulawesi. Kamera, mata dan kepekaannya ternyata tidak serta merta membuatnya bisa menguasai "karya cipta"nya. Kenapa? Karena sang kera hitamlah yang mengklik kamera milik David. Bukan David yang mengklik.

Hingga kini memang ada konsensus yang telah diterima publik bahwa, apa pun alat dan kameramu, kalau BUKAN kamu yang meng-klik- kamera itu, hak cipta BUKAN milikmu! Konsensus ini berlaku untuk manusia. Tapi bagaimana kalau hewan yang mengklik kameramu itu? Hak siapa?

Saya belum punya jawabannya. Toh, pihak Wikipedia dengan percaya diri menyiarkan ulang foto kera hitam itu tanpa takut dituntut ganti rugi oleh pihak David Slater. Wikipedia yakin, foto itu tidak bertuan alian bebas tuntutan hukum. Alat bahkan semua usaha fotografer tidak ada artinya. Uang puluhan ribu dollar yang dipertaruhkan untuk mencari gambar bercerita hilang begitu saja.

Kejadian ini memang membingungkan saya. 1. Penikmat foto itu bukan binatang, tapi manusia. Apakah ada hipokrisi disini? Kalau penikmatnya sesama binatang, apakah si kera hitam bisa menuntut hak ciptanya?

2. Pembuat berita, katakanlah Wikipedia dll,  kemudian mendapatkan untung, sebetulnya, dia memakan uang halal atau haram?

3. Bagaimana dengan camera-trap yang selama ini digunakan oleh Life atau National Geography? Siapa yang punya hak atas karya itu? Berhakkah mereka mencari untung dari karya camera trap? Saya ingat, ada satu foto karya majalah National Geography yang memuat macan kumbang yang difoto secara khusus menggunakan camera trap. Hingga kini hak cipta melekat sama mereka? Atau bisa saya mengobrak-abrik data mereka lalu saya rebut demi nama kebebasan publik?

Beginilah nasib fotografer? Apakah atas nama KLIK itu dan kebebasan hukum itu, karya seorang fotografer bisa diberikan begitu saja? Saya belum punya jawabannya. Apakah anda punya?

Salam,
Poriaman Sitanggang

Sabtu, 08 Juni 2013

Catatan kecil tentang Taufik Kiemas.

Beberapa hari setelah Tragedi 27 Juli 1996, saya ditelepon Keith Loveard, kepala koresponden Asiaweek di Jakarta. Saya diminta memotret Megawati di Kebagusan. Tragedi 27 Juli memang menyedihkan sekali. Banyak korban yang jatuh karena konflik internal di Partai Demokrasi Indonesia. Kehadiran pemerintah sepertinya tidak membawa jalan damai.

Saya tiba sudah siang di Kebagusan, rumah Megawati dan Taufik Kiemas. Banyak sekali orang topi merah berjaga-jaga. Pintu pagar tinggi tertutup seng. Media lokal tidak diperbolehkan masuk. Entah kenapa, saya tidak tahu. Tapi saya dibiarkan masuk, mungkin karena mewakili media asing. Juga, sang kepala koresponden sudah berada didalam halaman nan luas milik Megawati dan Taufik Kiemas.

Meski demikian, masih juga sulit memotret ke dalam rumah Megawati. Di dalam, saya lihat ada beberapa kru CNN. Saya tidak kenal mereka pribadi, tetapi, saya sudah sering melihat mereka dilapangan dengan mike bertuliskan CNN.

Ketika saya mencoba masuk, ada pendukung banteng merah yang melarang. Tapi, Taufik Kiemas yang membela dan mengatakan, biarkan dia masuk. Dia teman kita. Taufik Kiemas pun terkesan akrab sekali. "Bikin foto yang bagus ya. Nanti saya minta dibikinkan foto keluarga juga ya," pintanya. Permintaan yang sangat menyanjung hati.

Sebagai fotografer, saya mengakui tidak bebas nilai, ini berbeda dengan kaidah etis yang selalu didengungkan media yang harus cover both side dalam menjalankan tugasnya.  Saya memang agak "kecewa" dengan perlakukan represif pemerintah dalam berhubungan dengan rakyatnya. Jatuhnya korban 27 Juli membuat saya "marah".  Makanya, ketika Taufik Kiemas meminta saya membuat foto "bagus" seolah gayung bersambut.

Satu malam sebelum berangkat ke rumah Megawati di Kebagusan itu, saya sudah menyiapkan satu ide pemotretan khusus. Meski agak terburu-buru, saya meminta asisten saya Nurdin untuk menjahit khusus bendera Merah-Putih.

Setelah Taufik Kiemas setuju, saya mendirikan satu background khusus dengan latarbelakang bendera Merah-Putih. Lama juga menunggu, lebih dari 3 jam, sebelum (Mbak) Megawati keluar dari rumahnya. Sesi foto berjalan singkat. Saya menggunakan kamera 35 mm dan kamera large format Toyo 4X5. Tanpa saya sadari, ada pihak PDI yang juga menggambil gambar. Sebetulnya, didalam hati, saya tidak suka ada yang "nyolong" sesi foto di ruang kreatif saya. Apalagi, kemudian hari, saya menemukan banyak sekali bertebaran poster MEGA-BINTANG (Perpaduan PDI dan PPP) dalam melawan rezim Suharto.

Saya nyatakan secara baik-baik ketidaksetujuan itu kepada Taufik Kiemas. Hak kreatif saya haruslah dihargai. Tapi, juga saya tidak menyangkal mendukung perjuangan Megawati. Taufik Kiemas setuju untuk memberi saya kesempatan eksklusif memotret Megawati keesokan harinya.

Terus terang, saya termotivasi memotret Megawati untuk mendukung perjuangannya melawan rezim represif ketika itu. Tapi agak kesal juga kalau harus menunggu berjam-jam tanpa kepastian waktu. Gantian, saya datang terlambat keesokan harinya. Megawati sudah lama menunggu. Saya kena omelnya. Tapi, kemudian bisa diatasi. Saya minta dia berjalan keluar rumahnya. Lalu, memotret dia di taman rumahnya yang asri. Megawati menurut juga. Mungkin dia merasa tersanjung melihat keseriusan saya memotretnya.

Kini, ketika saya melihat kembali perjalanan memotret Megawati, saya merasa bersyukur bisa dibantu oleh Pak Taufik Kiemas. Tanpa Pak Taufik Kiemas, tidak mungkin saya bisa mendapatkan foto yang sesuai dengan ide saya. Pak Taufik Kiemas adalah PR officer sejati untuk Megawati. Kerendahan hatinya untuk mendukung istrinya memimpin Indonesia patut dipuji.

Di alam budaya Patriarkat yang sangat kental di Indonesia, sikap Pak Taufik Kiemas sangat MULIA sekali. Selamat jalan Pak Taufik Kiemas. Mesti janjimu untuk membuat foto keluarga tidak terpenuhi, hatiku rela dan bangga.

Solo, 8 Juni 2013.
Poriaman Sitanggang





Kamis, 24 Mei 2012

Nota sekilas Poriaman Sitanggang

Hari ini (24 Mei 2012) saya mengikuti Round Table Discussion: Indonesian Modern Painting. Isinya berbicara (1) soal kehadiran  Museum privat/swasta dokter Oei Hong Djien di Magelang,(2) Palsu tidak satu lukisan hingga (3) Tanggungjawab sosial museum baik itu  museum privat/swasta atau pun museum publik yang dikelola pemerintah atau negara.

Kehadiran museum privat/swasta dr. Oei Hong Djien mendapat kontraversi perihal adanya koleksi yang "diduga"  palsu. Ternyata urusan palsu dan tidak palsu dari satu lukisan telah menghantui kolektor di seluruh dunia. Tiga metodologi yang coba dikaji tidak juga bisa menghasilkan satu kesepakatan perihal ke-asli-an karya. Kasus ini ternyata meluas kemana-mana termasuk laporan BPK soal koleksi lukisan Bank Indonesia yang diduga banyak palsu, seperti yang diakui Miranda Goeltom.

Lepas dari persoalan itu, spirit dr. Oei Hong Djien dalam mengkoleksi lukisan putra-putri terbaik Indonesia patut diajungkan jempol. Semuanya ada harga dan konsekwensinya, katanya. Setiap kerugian karena mendapatkan lukisan yang diduga palsu menjadi guru terbaik dalam melihat karya lukisan dan dalam perjalanannya di dunia seni rupa. 

Forgery ternyata telah menjadi industri yang berkembang canggih tidak kalah hebatnya dengan perkembangan seni rupa itu sendiri. Kebudayaan global yang ditandai dengan berakhirnya perang dunia I, seperti yang dipromosikan oleh Klaus Schwab salah seorang pendiri World Economic Forum, membuat terjadinya perputaran uang bukan dibidang ekonomi, justru dimulai di bidang budaya. Menurut Jim Supangkat, ada arus "pemburu" seni yang terus bergerak diseluruh belahan dunia. Baginya, kenyataan itu membuatnya tidak lagi perlu mendiskusikan atau mendebat apakah ada seni yang asli buatan Indonesia atau yang "impor". Kenyataannya, kita telah menjadi bagian dari kehidupan global.

Kemenangan kemanusiaan atas perang dunia I yang berkepanjangan di Eropa (memakan korban 10 juta jiwa) telah membebaskan warga Eropa dari penjajahan kolonial para raja-raja disana. Kemenangan yang dipuja sebagai kekuatan sosialisme. Kekuatan yang bertumbuh pada kebebasan berpendapat melahirkan seni rupa modern yang membebaskan diri dari batasan-batasan seni yang dulunya cenderung dikendalikan oleh Royal Academy of Paris dan Royal Academy of London. 

Kelebihan Eropa dalam seni rupa adalah sudah hadirnya infrastruktur kesenian yang kuat. Menurut Lin Che Wei,hubungan antar industri (stakeholder) membuat value chain berjalan baik. Di Indonesia, ini menjadi tantangan besar, karena seorang kolektor bisa bertindak seperti dealer, art critics bahkan pemilik museum atau pun gallery. 

Forum memberi pertanyaan pada apa peran Private Museum dan Public Museum di Indonesia. Memang aneh, kita belum memiliki museum publik untuk seni rupa hingga sekarang. Jim Supangkat justru bersemangat dengan prinsip : Jangan terlalu melibatkan pemerintah dalam mengurus seni rupa di Indonesia. Gejala di dunia juga menunjukan semakin menurunnya Public Museum. Justru museum privat/swasta seperti Guggenheim Museum semakin besar.  Tetapi, apakah Private Museum berhak dibebaskan dari tanggungjawab sosial? Meski pun Private Museum tidak mendapatkan dana publik dalam pengelolaannya, forum berkeyakinan Private Museum mempunyai tanggungjawab sosial. Karenanya, tuntutan untuk terbuka menjadi kian besar juga. 

Kalau tidak ditemukan metodologi keterbukaan yang bisa dipertanggungjawabkan, maka akhirnya terjadi penghukuman publik secara "bisik-bisik" lewat Facebook, twitter atau pun blogger. Efeknya, terjadi dissonance informasi yang kian membingungkan. Akibatnya pendidikan publik untuk generasi berikutnya akan terhambat. Ini menjadi kerugian bagi kemanusiaan itu sendiri.

Salam,
Poriaman Sitanggang