Kamis, 24 Mei 2012

Nota sekilas Poriaman Sitanggang

Hari ini (24 Mei 2012) saya mengikuti Round Table Discussion: Indonesian Modern Painting. Isinya berbicara (1) soal kehadiran  Museum privat/swasta dokter Oei Hong Djien di Magelang,(2) Palsu tidak satu lukisan hingga (3) Tanggungjawab sosial museum baik itu  museum privat/swasta atau pun museum publik yang dikelola pemerintah atau negara.

Kehadiran museum privat/swasta dr. Oei Hong Djien mendapat kontraversi perihal adanya koleksi yang "diduga"  palsu. Ternyata urusan palsu dan tidak palsu dari satu lukisan telah menghantui kolektor di seluruh dunia. Tiga metodologi yang coba dikaji tidak juga bisa menghasilkan satu kesepakatan perihal ke-asli-an karya. Kasus ini ternyata meluas kemana-mana termasuk laporan BPK soal koleksi lukisan Bank Indonesia yang diduga banyak palsu, seperti yang diakui Miranda Goeltom.

Lepas dari persoalan itu, spirit dr. Oei Hong Djien dalam mengkoleksi lukisan putra-putri terbaik Indonesia patut diajungkan jempol. Semuanya ada harga dan konsekwensinya, katanya. Setiap kerugian karena mendapatkan lukisan yang diduga palsu menjadi guru terbaik dalam melihat karya lukisan dan dalam perjalanannya di dunia seni rupa. 

Forgery ternyata telah menjadi industri yang berkembang canggih tidak kalah hebatnya dengan perkembangan seni rupa itu sendiri. Kebudayaan global yang ditandai dengan berakhirnya perang dunia I, seperti yang dipromosikan oleh Klaus Schwab salah seorang pendiri World Economic Forum, membuat terjadinya perputaran uang bukan dibidang ekonomi, justru dimulai di bidang budaya. Menurut Jim Supangkat, ada arus "pemburu" seni yang terus bergerak diseluruh belahan dunia. Baginya, kenyataan itu membuatnya tidak lagi perlu mendiskusikan atau mendebat apakah ada seni yang asli buatan Indonesia atau yang "impor". Kenyataannya, kita telah menjadi bagian dari kehidupan global.

Kemenangan kemanusiaan atas perang dunia I yang berkepanjangan di Eropa (memakan korban 10 juta jiwa) telah membebaskan warga Eropa dari penjajahan kolonial para raja-raja disana. Kemenangan yang dipuja sebagai kekuatan sosialisme. Kekuatan yang bertumbuh pada kebebasan berpendapat melahirkan seni rupa modern yang membebaskan diri dari batasan-batasan seni yang dulunya cenderung dikendalikan oleh Royal Academy of Paris dan Royal Academy of London. 

Kelebihan Eropa dalam seni rupa adalah sudah hadirnya infrastruktur kesenian yang kuat. Menurut Lin Che Wei,hubungan antar industri (stakeholder) membuat value chain berjalan baik. Di Indonesia, ini menjadi tantangan besar, karena seorang kolektor bisa bertindak seperti dealer, art critics bahkan pemilik museum atau pun gallery. 

Forum memberi pertanyaan pada apa peran Private Museum dan Public Museum di Indonesia. Memang aneh, kita belum memiliki museum publik untuk seni rupa hingga sekarang. Jim Supangkat justru bersemangat dengan prinsip : Jangan terlalu melibatkan pemerintah dalam mengurus seni rupa di Indonesia. Gejala di dunia juga menunjukan semakin menurunnya Public Museum. Justru museum privat/swasta seperti Guggenheim Museum semakin besar.  Tetapi, apakah Private Museum berhak dibebaskan dari tanggungjawab sosial? Meski pun Private Museum tidak mendapatkan dana publik dalam pengelolaannya, forum berkeyakinan Private Museum mempunyai tanggungjawab sosial. Karenanya, tuntutan untuk terbuka menjadi kian besar juga. 

Kalau tidak ditemukan metodologi keterbukaan yang bisa dipertanggungjawabkan, maka akhirnya terjadi penghukuman publik secara "bisik-bisik" lewat Facebook, twitter atau pun blogger. Efeknya, terjadi dissonance informasi yang kian membingungkan. Akibatnya pendidikan publik untuk generasi berikutnya akan terhambat. Ini menjadi kerugian bagi kemanusiaan itu sendiri.

Salam,
Poriaman Sitanggang