Sabtu, 08 Juni 2013

Catatan kecil tentang Taufik Kiemas.

Beberapa hari setelah Tragedi 27 Juli 1996, saya ditelepon Keith Loveard, kepala koresponden Asiaweek di Jakarta. Saya diminta memotret Megawati di Kebagusan. Tragedi 27 Juli memang menyedihkan sekali. Banyak korban yang jatuh karena konflik internal di Partai Demokrasi Indonesia. Kehadiran pemerintah sepertinya tidak membawa jalan damai.

Saya tiba sudah siang di Kebagusan, rumah Megawati dan Taufik Kiemas. Banyak sekali orang topi merah berjaga-jaga. Pintu pagar tinggi tertutup seng. Media lokal tidak diperbolehkan masuk. Entah kenapa, saya tidak tahu. Tapi saya dibiarkan masuk, mungkin karena mewakili media asing. Juga, sang kepala koresponden sudah berada didalam halaman nan luas milik Megawati dan Taufik Kiemas.

Meski demikian, masih juga sulit memotret ke dalam rumah Megawati. Di dalam, saya lihat ada beberapa kru CNN. Saya tidak kenal mereka pribadi, tetapi, saya sudah sering melihat mereka dilapangan dengan mike bertuliskan CNN.

Ketika saya mencoba masuk, ada pendukung banteng merah yang melarang. Tapi, Taufik Kiemas yang membela dan mengatakan, biarkan dia masuk. Dia teman kita. Taufik Kiemas pun terkesan akrab sekali. "Bikin foto yang bagus ya. Nanti saya minta dibikinkan foto keluarga juga ya," pintanya. Permintaan yang sangat menyanjung hati.

Sebagai fotografer, saya mengakui tidak bebas nilai, ini berbeda dengan kaidah etis yang selalu didengungkan media yang harus cover both side dalam menjalankan tugasnya.  Saya memang agak "kecewa" dengan perlakukan represif pemerintah dalam berhubungan dengan rakyatnya. Jatuhnya korban 27 Juli membuat saya "marah".  Makanya, ketika Taufik Kiemas meminta saya membuat foto "bagus" seolah gayung bersambut.

Satu malam sebelum berangkat ke rumah Megawati di Kebagusan itu, saya sudah menyiapkan satu ide pemotretan khusus. Meski agak terburu-buru, saya meminta asisten saya Nurdin untuk menjahit khusus bendera Merah-Putih.

Setelah Taufik Kiemas setuju, saya mendirikan satu background khusus dengan latarbelakang bendera Merah-Putih. Lama juga menunggu, lebih dari 3 jam, sebelum (Mbak) Megawati keluar dari rumahnya. Sesi foto berjalan singkat. Saya menggunakan kamera 35 mm dan kamera large format Toyo 4X5. Tanpa saya sadari, ada pihak PDI yang juga menggambil gambar. Sebetulnya, didalam hati, saya tidak suka ada yang "nyolong" sesi foto di ruang kreatif saya. Apalagi, kemudian hari, saya menemukan banyak sekali bertebaran poster MEGA-BINTANG (Perpaduan PDI dan PPP) dalam melawan rezim Suharto.

Saya nyatakan secara baik-baik ketidaksetujuan itu kepada Taufik Kiemas. Hak kreatif saya haruslah dihargai. Tapi, juga saya tidak menyangkal mendukung perjuangan Megawati. Taufik Kiemas setuju untuk memberi saya kesempatan eksklusif memotret Megawati keesokan harinya.

Terus terang, saya termotivasi memotret Megawati untuk mendukung perjuangannya melawan rezim represif ketika itu. Tapi agak kesal juga kalau harus menunggu berjam-jam tanpa kepastian waktu. Gantian, saya datang terlambat keesokan harinya. Megawati sudah lama menunggu. Saya kena omelnya. Tapi, kemudian bisa diatasi. Saya minta dia berjalan keluar rumahnya. Lalu, memotret dia di taman rumahnya yang asri. Megawati menurut juga. Mungkin dia merasa tersanjung melihat keseriusan saya memotretnya.

Kini, ketika saya melihat kembali perjalanan memotret Megawati, saya merasa bersyukur bisa dibantu oleh Pak Taufik Kiemas. Tanpa Pak Taufik Kiemas, tidak mungkin saya bisa mendapatkan foto yang sesuai dengan ide saya. Pak Taufik Kiemas adalah PR officer sejati untuk Megawati. Kerendahan hatinya untuk mendukung istrinya memimpin Indonesia patut dipuji.

Di alam budaya Patriarkat yang sangat kental di Indonesia, sikap Pak Taufik Kiemas sangat MULIA sekali. Selamat jalan Pak Taufik Kiemas. Mesti janjimu untuk membuat foto keluarga tidak terpenuhi, hatiku rela dan bangga.

Solo, 8 Juni 2013.
Poriaman Sitanggang